Kamis, 05 Maret 2009

Sweetness in the Belly



Judul buku: Lily: Pencarian Cinta Seorang Gadis Eropa di Etiopia
Judul asli: Sweetness in the Belly
Penulis: Camilla Gibb
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2008
Tebal: 500 hlm
.

Nama Etiopia pernah sangat terkenal pada tahun 1980 hingga 1990-an. Hampir setiap malam, layar televisi kita menampilkan gambar-gambar mengenaskan tentang situasi di negeri tersebut yang dilanda kelaparan berkepanjangan akibat kekeringan dan juga perang saudara.

Di negeri dengan sejarah yang panjang ini pernah memerintah seorang kaisar, raja di raja, dengan kekuasaan bagaikan dewa, Haile Selassie. Ia juga sangat dipuja oleh kaum penganut ‘agama’ Rastafaria. Nama Rastafari diambil dari nama kecil Haile Selassie, Ras Tafari, sebelum menjadi penguasa Etiopia. Kaum Rastafarian inilah yang kemudian melahirkan aliran musik reggae. Pada tahun 1974, Haile Selassie digulingkan dari takhtanya, digantikan oleh sebuah pemerintahan Sosialis.

Negeri dengan populasi 40% golongan muslim ini sangat percaya pada para wali. Setiap benda dipercaya memiliki wali sendiri. Secara bergurau dikatakan, bahkan kutil pun ada walinya. Mereka juga kerap melangsungkan ritual agama yang bercampur tradisi di makam-makam para wali tersebut. Dari kenyataan ini tergambarlah sesungguhnya penduduk Ethiopia amat relijius sekaligus juga meyakini hal-hal mistis. Kalau di kita barangkali bisa disejajarkan dengan kejawen.

Melalui kaca mata seorang novelis Kanada, Camilla Gibb, yang juga adalah master antropologi sosial, novel berjudul asli Sweetness in the Belly ini memaparkan wajah Etiopia pada kurun waktu 1970 hingga 1990-an. Dengan tokoh seorang wanita muda kelahiran Inggris, Lily, Camilla telah mengawetkan sepotong catatan sejarah negeri yang pernah mengilhami penyanyi balada Iwan Fals menciptakan sebuah lagunya yang terkenal: “Ethiopia”.

Meskipun Lily adalah seorang farenji, kulit putih, ras yang sering dianggap lebih unggul dari kulit berwarna, namun Gibb tidak menampilkannya sebagai karakter yang serbapintar dan serbatahu. Gibb cukup bisa mengambil jarak dengan tokoh utamanya itu sehingga tidak terjerumus menjadikan dirinya sebagai Lily. Keterangan-keterangan ihwal kondisi alam, geografi, sosial politik, dan budaya setempat, tersampaikan melalui tokoh-tokoh lokalnya, seperti Aziz, seorang dokter muda yang bersama teman-teman mahasiswanya diam-diam melakukan gerakan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Dalam setiap pertemuan dengan kawan-kawannya itu, Aziz mengajak Lily. Dari sinilah Lily mengeruk banyak informasi tentang negeri yang menjadi tanah air keduanya itu.

Agar cerita tak menjadi garing, tentu harus ada kisah cinta di antara para tokohnya, bukan? Maka, dibuatlah kisah asmara antara Lily dan Aziz.



Novel ini ditulis Gibb sebagai hasil studi dan penelitiannya tentang Islam di Mesir serta pengalamannya tinggal selama 1,5 tahun bersama satu keluarga muslim Etiopia di Harar sekitar tahun 1994-1995. Di negara ini, Gibb menyaksikan dengan mata kepala sendiri berbagai praktik budaya lokal yang sering membahayakan dan merugikan perempuan.

Umpamanya, upacara absuma, khitan bagi anak-anak perempuan yang kerap kali menelan korban karena dilakukan secara tradisional oleh seorang dukun. Biasanya penyebab melayangnya nyawa anak-anak itu akibat kehabisan darah. Sampai saat ini, tradisi tersebut masih terus berlangsung.

Camilla juga menemukan fakta masih banyaknya praktik poligami di kalangan kelompok muslim. Motivasi para perempuan yang bersedia dikawani lelaki beristri terutama karena faktor ekonomi selain alasan agama dan adat yang diyakininya.

Namun, ia juga tak memungkiri bahwa banyak pula hal unik dan indah yang ia temukan di tengah-tengah tanah yang kerontang itu. Misalnya saja, kebiasaan penduduk mengunyah daun qat atau acara minum buna (kopi khas Etiopia) sembari kumpul-kumpul dan bergosip.

Sweetness in the Belly – entah kenapa judul yang keren ini harus diubah menjadi judul yang panjang lebar, Lily: Pencarian Cinta Seorang Gadis Eropa di Ethiopia – akhirnya bagi saya menjadi sebuah bacaan fiksi yang cukup mencerahkan. Darinya, saya memperoleh “tenpa sengaja” sekeping pengetahuan adat, budaya, dan sejarah Etiopia. Andai harus dengan sengaja membaca buku tentang Etiopia, barangkali saya akan pikir-pikir dulu. Ya, agaknya demikianlah “keajaiban” sebuah karya fiksi.***

Tidak ada komentar: