Minggu, 15 Juni 2008

Adam Hawa


Judul: Adam Hawa
Penulis: Muhidin M.Dahlan
Penerbit: ScriPta Manent
Cetakan: I, 2005
Tebal: 166 hlm.

Adam dalam kitab-kitab suci agama langit, Islam, Nasrani, dan Yahudi, dipercaya sebagai manusia pertama ciptaan Tuhan. Makhluk berjenis kelamin lelaki ini, masih menurut kitab-kitab suci itu, dibuat dari tanah. Sebelum kemudian ia diusir dari Surga, Tuhan telah berbaik hari memberinya seorang kawan yang–sebagaimana tertulis dalam ayat-ayat Tuhan–diciptakan dari seruas tulang iga Adam sebelah kiri (barangkali dari sini berawal penempatan perempuan dalam saf salat berjamaah). Tersebab Adam melanggar larangan Tuhan untuk tidak menyentuh atau apa lagi sampai berani memakan buah khuldi–buah yang hanya tumbuh di Surga (ada juga versi yang menyebutnya apel)–ia pun dihukum Tuhan dengan dilemparkan ke bumi bersama “rusuk kirinya”. Itulah sejarah yang selama ini diimani sebagai asal mula adanya manusia di bumi.

Oleh penulis “gemblung” Muhidin M. Dahlan, “sejarah” suci itu ditulis kembali dengan gaya kelakar yang bisa jadi bikin pembaca yang relijius akan merah kuping dan “berasap” kepalanya. Pasalnya Adam Hawa dalam versi Gus Muh atawa Gus Pengasap ini tampil dalam sosok yang “berbeda”. Oh, bahkan Gus Sinting ini berani menuliskan bahwa Hawa bukanlah perempuan pertama, sebab yang pertama itu adalah Maia (ah..kenapa saya lalu jadi ingat Maia Ahmad, ya?)

Lantaran sebelumnya saya sudah sempat mencari kenal penulis muda yang banyak mendapat hujatan, terutama dari kelompok Islam karena keempat novelnya yang dianggap kelewat nyeleneh itu, maka saya sudah menyiapkan mental untuk bertemu dengan sebuah lakon yang “aneh”.

Muhidin menyajikan dua versi “unik” mengenai penciptaan Adam. Versi pertama, ia mengartikan secara harfiah Adam yang dibuat dari tanah. Tuhan telah memerintahkan malaikat-malaikatnya yang setia untuk menemui kaum kurcaci yang terkenal mahir membuat patung. Pada orang-orang mungil ini, malaikat memesan sebuah patung lempung makhluk terbaru yang kelak dikenal sebagai manusia. Gambar dan rancangan patung tersebut dibuat sendiri oleh Tuhan dengan detail yang sangat sempurna. Ketika saatnya tiba, Tuhan menghembuskan kehidupan ke dalam tubuh patung lempung tersebut dan memanggilnya dengan nama Adam.

Versi kedua, Tuhanlah yang “melahirkan Adam”. Cuma karena Muhidin menafsirkan Tuhan berkelamin cowok (Ugh, mengapa harus ditafsirkan sebagai lelaki?) yang tidak memiliki rahim dan vagina, maka Adam lalu dikisahkan lahir lewat ketiak Tuhan yang dipenuhi bulu. Sungguh imajinasi yang, hmm, nakal. Saya bisa paham jika ada pembaca yang tidak berkenan dan misuh-misuh. Saya tidak tahu deh bagaimana reaksi FPI kalau membaca novel tipis ini.

Adam ternyata lebih suka dan sepakat dengan versi kedua. Sebab menurut hematnya versi pertama sangat tidak keren. Tercipta dari lempung? Oh, sungguh hina dan memalukan. Sebutan “putra Tuhan” tentu jauh lebih terhormat.

Setelah sekian lama sendiri di Taman Eden, pada suatu pagi Adam terkejut lantaran mendapati seorang makhluk lain yang sangat mirip dengan dirinya nangkring di batang pohon khuldi. Ah, tetapi setelah ia dekati, makhluk itu ternyata sedikit berbeda dengan dirinya. Bagian dadanya menggelembung, tidak rata seperti miliknya. Dan sebaliknya, di antara selangkangannya tidak terdapat gumpalan daging yang mirip akar tunjang seperti di tubuhnya. Makhluk itu menyebut dirinya Maia.

Lalu, tinggallah Maia bersama Adam di Taman Eden, di sebuah rumah batu (entah belajar dari mana Adam cara membuat rumah itu). Setiap detik mereka lewati dengan bercinta sampai kelelahan. Rupanya, Tuhan yang pandai itu telah melengkapi Adam dan Maia dengan hasrat berahi yang membuat keduanya saling tertarik dan bergairah satu sama lain. Tiada hari tanpa bercinta. Hingga pada suatu masa Maia tiba pada titik jenuh karena pasangannya kelewat dominan dan suka memerintah. Maia tak diperkenankan memiliki inisatif, bahkan dalam soal bercinta sekalipun. Ia harus selalu mematuhi kehendak Adam, tanpa boleh membantah sedikitpun. Maka, kemudian ia memutuskan minggat dari lelaki itu.

Nah, barulah setelah kepergian Maia entah ke mana, Tuhan memberikan Hawa sebagai penggantinya. Hawa yang penurut serta tak pernah menuntut. Disuruh apapun akan ia laksanakan dengan kepatuhan seorang budak kepada majikannya. Sebab, ia telah diperintahkan Tuhan untuk hanya mematuhi Adam. Ow..ow…inikah hulu sejarah masyarakat patriarkhi (male domination)?:D

Yah, saya cuma bisa mengatakan, sebagai sebuah novel, cara penggarapannya masih harus diamplas lagi supaya lebih halus. Untuk tema cerita, saya sama sekali tidak mempersoalkan. Saya pikir, demi kebebasan berkreasi, tema apapun boleh ditulis. Perkara mutu penulisannya, itulah yang perlu diperhatikan.

Untuk penerbitnya, sangat saya sarankan agar lebih memerhatikan ejaan. Saya menemukan banyak kekeliruan yang terkesan kebablasan. Misalnya, “memperoleh” ditulis “memeroleh”, “memperlihatkan” ditulis “memerlihatkan”, dll. Ini kan kebablasan, jangan mentang-mentang “memperhatikan” harus ditulis “memerhatikan”. Sebab, kata dasar “memerhatikan” adalah “perhati”, sedangkan “memperlihatkan”, kata dasarnya adalah “lihat”.

Komentar untuk Gus Muh : “Kau memang edan tenan, Gus!”

Senin, 02 Juni 2008

Novel Pangeran Diponegoro


Judul buku: Novel Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil
Penulis: remy Sylado
Penerbit: Tiga Serangkai
Cetakan: I, 2007
Tebal: 339 hlm.

Remy Sylado sudah sering menulis novel sejarah. Sebut saja misalnya, Kembang Jepun, Parijs van Java, dan Ca Bau Kan. Ketiganya merupakan fiksi berlatar sejarah. Kembang Jepun ber-setting Surabaya, Parijs van Java menceritakan riwayat Bandung tempo doeloe, dan Ca Bau Kan adalah kisah ihwal sejarah orang-orang Cina di Betawi dan Semarang. Terakhir adalah Novel Pangeran Diponegoro yang menurut desas-desus akan terbit dalam tujuh jilid.

Diponegoro yang memiliki nama kecil Ontowiryo terlahir sebagai putra sulung raja Jawa, Hamengku Buwono III dengan salah seorang selirnya, Raden Ajeng Mangkarawati (putri bupati Pacitan), di Yogyakarta pada 11 November 1785. Sejak bayi ia diasuh dan dipelihara oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng, di sebuah puri di desa Tegalrejo. Di sini ia ditempa bermacam ilmu dan pengetahuan; mulai dari olah tubuh hingga olah batin. Ia dibesarkan dalam ajaran Islam dan tradisi Jawa yang berakar pada Hindu dan animisme.

Riwayat sang Pangeran yang ditulis sebagian berdasarkan Babad Diponegoro yang berjumlah empat jilid dengan keseluruhannya 1357 halaman ini, pada buku pertama dengan subjudul Menggagas Ratu Adil, mengisahkan masa kecil Ontowiryo hingga ia diangkat menjadi pangeran dengan nama Diponegoro; nama yang dipilihnya sendiri karena kekagumannya pada leluhur. Saat itu Kesultanan Yogyakarta diperintah oleh Hamengku Buwono II, kakek Diponegoro, yang kemudian dilucuti kekuasaannya oleh Gubernur Jendral Daendels. Daendels lalu mengangkat putra Hamengku Buwono II sebagai raja baru yang bergelar Hamengku Buwono III (ayahanda Diponegoro).

Diriwayatkan pula betapa Ontowiryo muda senang sekali membaca berbagai kitab, agama dan sastra, suluk, primbon, babad, tarikh, dll. Buku-buku itu diperolehnya dari pedagang kelontong keliling keturunan Thionghoa, Ong Kian Tiong (entahlah ia ini tokoh riil atau fiktif). Setiap hari, setelah beribadat di surau, Ontowiryo kerap menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku tersebut. Selain itu ia juga mempelajari dan menekuni laku batin dengan tapa dan semadi ditambah olah tubuh sebagai bekal membela diri kelak menghadapi musuh bangsa Jawa : Belanda Setan.

Tentu kita sepakat, bahwa materi buku yang sarat unsur sejarah ini merupakan materi yang bagus sekali. Di dalamnya ada banyak informasi seputar sejarah kerajaan di Jawa, khususnya KesultananYogyakarta yang diacak-acak bangsa kulit putih, dari masa pemerintahan Daendels (Belanda) hingga Sir Stamford Raffles (Inggris).

Buku ini seharusnya bisa lebih baik lagi jika terbebas dari kekeliruan-kekeliruan yang bisa jadi berasal dari penulisnya atau penerbit yang mengetik ulang naskah ini, sebab konon Remy menulisnya dengan menggunakan mesik ketik. Yang beberapa kali terjadi adalah kejanggalan soal umur tokoh-tokohnya.

Umpamanya, pada halaman 72 : “Tapi dalam setiap waktu ada waktu-waktunya masing-masing. Umurku baru akan menginjak setengah abad. Padahal aku rasa–begitu yang aku lihat dalam mata terpejam di setiap tapaku–usia paling tepat untuk menjadi amirulmukminin sekaligus penatagama yang kalifatullah di tanah Jawa ini adalah angka 40.”

Dialog di atas diucapkan oleh nenek buyut Ontowiryo kepada cucunya itu saat sang cucu berumur 23 tahun. Jika Anda tak malas berhitung, hitunglah berapa kira-kira umur orang tua Ontowiryo dengan berpatok pada kalimat yang saya kutip itu. Jika nenek buyutnya–berarti nenek dari orang tua Ontowiryo–baru berusia menjelang separuh abad, berapakah usia neneknya? Dan berapa usia ayah ibunya?

Anehnya, pada halaman 253, Remy menyebutkan, bahwa umur Hamengku Buwono II (putra Ratu Ageng) adalah 60 tahun. Saat itulah, saya dengan berat hati terpaksa berasumsi, demi menjaga kenikmatan membaca, bahwa telah terjadi salah ketik di halaman 72. Mungkin maksudnya, “menginjak seabad”. Barulah urusan umur ini terasa masuk akal.

Namun, rupanya perkara umur yang janggal belum selesai. Masih tersisa satu lagi di halaman 334: Sayang, Sultan Raja hanya sebentar saja menikmati kereta bagus itu. Dua tahun setelah menjadi Sultan Hamengku Buwono III, pada 1814 dia wafat di usia 43 tahun.

Mari kita cermati lagi. Sultan HB III adalah ayah Diponegoro. Diponegoro lahir pada 1785. Ketika ayahnya meninggal pada 1814, ia berumur 29 tahun. Kalau pada wafatnya HB III berumur 43 tahun, itu artinya ia lahir pada 1771 dan pada 1785, saat ia baru berusia 14 tahun, punya anak Ontowiryo. Ah…kok sulit buat nalar saya menerima paparan ini meskipun telah saya coba memahaminya dengan mengaitkannya pada konteks zaman dulu di mana menikah muda itu sesuatu yang lazim. Tetapi, 14 tahun punya anak?

Saya penasaran. Akhirnya saya cari sumber lain. Ketemulah di internet sumber lain itu yang menyatakan bahwa HB III lahir pada 1769 dan wafat pada 1814. Nah, ini lebih masuk akal, sebab berarti pada saat punya anak ia telah cukup dewasa: 16 tahun. Sekali lagi saya harus menoleransi data di novel ini sebagai sebuah kesalahan pengetikan (Duh..banyak banget ya salah ketiknya? Dan kok kebetulan menyangkut hal yang penting).

Walaupun saya sempat kehilangan minat, saya teruskan juga menyelesaikan novel ini. Harus saya akui di luar masalah umur tadi, Remy adalah seorang pendongeng yang cukup mengasyikkan. Seperti pada buku-bukunya yang lain, Remy yang sangat menyukai bahasa asing sering menggunakannya dalam percakapan tokoh-tokohnya. Tak lupa juga ia menyelipkan humor-humor yang lumayan menyegarkan. Contohnya:

Sambil memandang ke langit, dia berkata, “Siapkan pasukan tempur hari ini juga. Kita akan bikin dia kebakaran janggut.”
Wiese menyelang, katanya, “Dia tidak berjanggut, Tuan Gubernur Jendral.” (hlm.211).

Sayangnya, sebagai pendongeng, Remy kerap melupakan detail. Kebetulan, pada saat yang bersamaan saya juga tengah membaca Rara Mendut, novel trilogi karya mendiang Romo Mangun yang diterbitkan kembali. Kebetulan pula, setting Rara Mendut sangat mirip dengan novel Remy ini : Jawa tempo doeloe.

Jika harus membandingkannya dengan Rara Mendut, Novel Pangeran Diponegoro akan terlihat kurang untuk urusan detail. Dalam Rara Mendut, dipaparkan detail motif kain batik yang dikenakan para raja, permaisuri, dan selir-selirnya. Juga hiasan pada keris dan benda-benda pusaka lainnya. Pun yang menyangkut tata cara adat kerajaan. Hal tersebut luput dari pengamatan Remy, termasuk penggunaan istilah bahasa Jawa untuk menyebut kakak lelaki dengan “kangmas”. Alih-alih memakai sebutan “kangmas”, Remy malah menggunakan istilah “kakak” saja (bab 15). Mungkin sepele, tetapi cukup bikin gatal.

Barangkali saya jenis pembaca yang cerewet untuk hal-hal demikian. Ibarat menikmati sebuah taman bunga, hal-hal yang bikin gatal tadi adalah rumput-rumput liar yang luput disiangi oleh pemilik atau tukang kebunnya. Alhasil, taman bunga yang seharusnya indah dipandang, jadi sedikit terganggu keasriannya. Harapan saya, pada buku selanjutnya (masih aka nada enam lagi) kesalahan-kesalahan tadi jangan sampai terjadi lagi.***ENDAH SULWESI