Sabtu, 08 Desember 2007

Menjelajah Gurat-gurat Wajah Iran


Judul Buku : The Hidden Face of Iran
Judul asli : Searching for Hassan; a journey to the heart of Iran
Penulis : Terrence Ward
Penerjemah : Berliani M.Nugrahani
Penerbit : Rajut Publishing
Cetakan I, Maret 2007
Tebal : 579 hlm

Searching for Hassan, demikian judul asli buku terbitan Rajut Publishing ini. Hassan adalah pelayan rumah tangga keluarga Ward selama mereka tinggal di Iran pada tahun 1960-an. Hassan, sejenak membuat saya terkenang tokoh cerita pada novel indah The Kite Runner karya Khaled Hosseini yang juga adalah seorang pelayan. Kedua Hassan di kedua buku ini, selain sebagai pelayan, juga sahabat bagi keluarga tempat mereka mengabdi. Bedanya, yang satu terjadi di dunia nyata di Iran (Searching for Hassan), yang lain merupakan kisah rekaan berlatar Afganistan (The Kite Runner).

Dalam edisi bahasa Indonesia, buku karya Terrence Ward ini berganti judul menjadi The Hidden Face of Iran dengan subjudul Catatan Perjalanan Warga Amerika Serikat Menembus Jantung Negeri Iran. Terrence Ward dilahirkan di Colorado, Amerika Serikat. Masa kecilnya dilewatkan di Arab Saudi dan Iran bersama-sama orang tua dan saudara-saudaranya. Kenangan manis di Iran inilah yang membawa Ward Family untuk kembali napak tilas mencoba menemukan Hassan bersama penggalan masa lalu itu.

Berbekal ingatan yang agak mengabur tentang sebuah desa bernama Tudeshk–kata yang sempat diucapkan Hassan mengenai nama kampungnya–Keluarga Ward memulai perjalanan mereka pada April 1998; menembus jantung Iran yang saat itu sedang gencar-gencarnya memusuhi "Setan Besar" Amerika Serikat. Iran akhir 1990-an sungguh sangat berbeda dibanding Iran 1960-an.

Pascarevolusi wajah Iran berubah drastis. Bekas monarkhi di bawah daulat Shah Reza Pahlevi itu sejak 1978 berganti pemerintahan menjadi Republik Islam, dan Ayatollah Rohullah Khomeini diangkat sebagai Pemimpin Tertinggi. Perubahan besar terjadi hampir di segala sektor kehidupan. Situasi sosial politik dan keamanan tak menentu. Gelombang pengungsipun terjadilah tanpa mampu dicegah. Jumlahnya mencapai hingga jutaan orang.

Rasa tidak aman itu semakin menjadi-jadi ketika secara tiba-tiba pecah perang dengan tetangga: Irak. Saddam Hussein masuk dan melakukan invasi di provinsi barat daya Iran. Dan lazimnya terjadi pada daerah-daerah yang berkonflik, tak ayal lagi korban jiwapun berjatuhan dari kedua belah pihak. Rakyatlah yang paling sengsara.

Iran di bawah Imam Khomeini sangat anti Barat, terutama Amerika. Mantra ritual "Marg bar Amrika, Matilah Amerika" senantiasa diserukan para mullah sembari tangan mengepal meninju udara. Roda pemerintahan dijalankan dengan syariat Islam, Syiah khususnya. Hukum cambuk diberlakukan. Para wanita dikekang dan diwajibkan memakai cadar hitam, serta menolak keras segala hal yang berhubungan dengan dunia Barat.

Kondisi seperti itu berlangsung bertahun-tahun. Iran seakan-akan terputus hubungan dan menutup diri dari dunia luar. Tak banyak berita tersiar dari dalamnya. Hanya orang-orang nekatlah yang berani masuk dan menjelajah negara Islam fundamentalis itu.

Hingga pada Agustus 1997 seorang ulama moderat, Mohammad Khatami terpilih sebagai presiden. Banyak orang menamakan periode indah ini sebagai "Musim Semi Teheran". Dalam sebuah wawancara di CNN dengan Christine Amanpour pada 7 Januari 1998, Presiden Khatami mengatakan, bahwa ia menyambut baik pertukaran kebudayaan. Dia menawarkan perdamaian dengan Washington untuk pertama kalinya sejak kejatuhan Shah pada 1979 dan mengatakan tentang berbicara "dari mulut ke mulut" dengan warga Amerika (hlm.37).

Terpilihnya Khatami segera saja membawa angin segar bagi dunia. Presiden baru yang fasih bicara dalam bahasa Inggris dan Jerman ini berani mengemukakan soal reformasi, demokrasi, serta menjanjikan perubahan tentang sebuah wajah Islam yang lebih lembut dan baik. Iapun segera saja menangguk dukungan luas dari berbagai kalangan, khususnya para wanita dan generasi muda Iran. Tak heran jika kemudian rakyatnya memberinya julukan "Ayatollah Gorbachev".

Situasi bersahabat inilah yang lantas dimafaatkan Ward sekeluarga untuk mendatangi kembali Iran, negeri yang sudah mereka anggap sebagai kampung halaman; menjelajah gurun-gurun pasirnya, menikmati syair-syair karya pujangga ternama, seperti Rumi dan Hafez; mengagumi keajaiban geologi alamnya; merenungi sejarahnya, dan tentu tak lupa tujuan utama: menemukan Hassan, sahabat mereka, setelah berpisah 30 tahun lamanya.

Buku yang sepenuhnya memuat kisah perjalanan ini (sebetulnya) sangat menarik. Di dalamnya kita mendapatkan banyak pengetahuan mengenai seluk-beluk negara Iran dan juga Timur Tengah : lanskap alamnya, kebudayaan, tradisi kuno, kesenian tradisional, kesusastraan, film, sosial politik, hingga agama (Islam Syiah). Selama membacanya, saya seolah-olah sedang menonton tayangan acara National Geography.

Terry, demikian nama kecil Terrence Ward, menampilkan begitu banyak detail, sehingga kita seperti membaca sebuah jurnal ilmiah atau laporan jurnalistik. Sangat informatif sebenarnya, meski di beberapa bagian sedikit terasa bertele-tele dan membosankan. Terry banyak mengutip buku-buku yang menjadi referensinya.

Ihwal berhasil-tidaknya keluarga Ward bertemu Hassan, sesungguhnya bisa menjadi daya pikat buku ini andai saja tidak ada "kecelakaan" kecil yang, menurut saya, sangat fatal, yaitu kehadiran tiga lembar foto tentang pertemuan dengan Hassan di tengah-tengah buku. Padahal yang membuat saya tetap bertahan membaca hingga separuh buku adalah karena ingin tahu apakah akhirnya keluarga Amerika keturunan Irlandia itu berhasil berjumpa dengan Hassan. Walaupun tetap saya lanjutkan pembacaan saya, namun greget itu sudah hilang. Antiklimaks rasanya.

Endah Sulwesi 10/5

Tidak ada komentar: