Rabu, 05 Desember 2007

KEGELISAHAN SEORANG (MANTAN) SANTRI


Judul buku: Hubbu
Penulis: Mashuri
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I – Agustus 2007
Tebal: 237 hlm.

Kata “hubbu” dalam bahasa Arab berarti cinta. Kata ini dipakai Mashuri untuk menjuduli novel debutannya yang menjadi jawara sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006.

Tetapi menurut saya, tidak sesuai antara judul dengan isi cerita. Novel ini bukan novel cinta. Novel ini lebih banyak mengungkap kegelisahan (konflik internal) seorang pemuda yang tengah mencari jati diri serta mencoba mempertemukan budaya Jawa dan pesantren, wilayah akademis yang pernah sangat akrab dengan penulisnya yang mantan santri Ponpes (Pondok Pesantren) Salafiyah Wanar dan Ta’sisut Taqwa Galang, Lamongan, Jawa Timur. Mashuri yang lahir pada 27 April 1976, kemudian meneruskan pendidikannya di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Lulus tahun 2002; melanjutkan studi pascasarjana di Jurusan Filsafat IAIN Sunan Ampel, Surabaya.

Riwayat pendidikan di atas, kemudian dipakainya sebagai setting dalam kisah Hubbu dengan Jarot sebagai tokoh utama. Setelah tamat membacanya nanti, kita boleh saja “curiga” bahwa Jarot atau Abdullah Satar merupakan “penjelmaan” Mashuri sendiri. No wonder sih, mengingat pengakuan beberapa penulis tentang karya pertama mereka yang mengambil model diri mereka sendiri sebagai karakter utama. Lebih gampang, begitu alasan mereka.

Maka lalu Mashuri menciptakan Jarot, seorang mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Airlangga yang berasal dari sebuah dusun kecil, Alas Abang. Jarot lahir dari sebuah keluarga santri yang taat. Kakeknya, Mbah Adnan, adalah leluhur Alas Abang yang sangat dihormati. Sejak kecil Jarot telah dijejali ajaran-ajaran Islam lewat pengajian kampung. Sebagai anak lelaki tunggal, ia digadang-gadang sebagai penerus Mbah Adnan kelak. Oleh sebab itu, orang tuanya menyekolahkan ia di pesantren.

Namun, Jarot membelot. Ia ingin terbang jauh ke luar kampungnya. Pembelotan itu dimulai saat ia mondok jadi santri di kota. Dia sering bolos dan memilih baca buku di perpustakaan daerah. Ia juga mulai berani pacaran dengan seorang santri putri.

Pembelotan berikutnya, saat ia menjadi mahasiswa. Pergaulan kota besar perlahan-lahan mengikis nilai-nilai Islam yang diyakininya selama ini. Jarot mulai berkenalan dengan minuman keras serta pergaulan bebas yang kelak akan terus disesali sepanjang hidupnya. Sementara itu di Alas Abang, keluarganya terus berharap Jarot akan pulang dan mengurus madrasah keluarga warisan sang kakek.

Tetapi Jarot yang memang memiliki bakat memberontak sejak kecil, justru semakin menjauhi kehidupan masa lalunya. Ia ingin melepaskan diri dari ikatan dengan kampung halaman dan keluarga besarnya. Apalagi ketika terjadi sebuah “kecelakaan” di akhir masa kuliahnya yang memaksa Jarot menikahi seorang gadis. Ia lantas merasa mesti “menghukum” dirinya sendiri atas dosa-dosa yang telah dilakukannya. Bersama gadis itu, Jarot melarikan diri ke Ambon, menggunting habis pertaliannya dengan Alas Abang, dengan masa lalu.

Secara garis besar, Hubbu terdiri dari 3 bagian cerita: masa kecil, masa kini, dan masa depan. Tidak tanggung-tanggung, ia melompat ke masa 30 tahun ke depan: 2040. Di sini, kisah dituturkan oleh Aida, anak perempuan Jarot. Lompatan ini sebetulnya bakal asyik andai saja Mashuri menguasai ilmu “ramalan” tentang masa depan, terutama seputar perilaku dan budaya masyarakat. Sudah barang tentu, budaya dan perilaku masyarakat (juga nilai-nilai yang dianut) pada 30 tahun yang akan datang sangatlah berbeda dengan kini. Celakanya, Mashuri justru gagal di sini. Ia kurang berani memainkan imajinasinya. Ia malah membawa kita menelusuri kembali masa lalu Jarot yang telah dikisahkan pada bab-bab sebelumnya. Pengulangan yang bikin capek.

Obsesinya mempertemukan budaya Jawa yang mistis dengan unsur-unsur Islam dan modernitas belum cukup berhasil mencuatkan konflik yang berarti. Mashuri belum berani menukik jauh ke dalamnya. Ia hanya bermain-main di wilayah permukaan. Tidak cukup ekstrem untuk menghadirkan sebuah perdebatan. Tidak cukup membuat pembaca “terguncang”. Dari mulai teknik bercerita, plot, serta temanya, relatif bukan barang baru. Bahkan di bagian-bagian akhir, ia tampak agak ngos-ngosan, kehabisan tenaga lantaran terlalu banyak hal yang ingin dituangkan.

Yang juga patut disayangkan adalah tidak adanya terjemahan untuk bait-bait–yang pasti sangat puitis–yang dinukil dari gurit Sastra Gendra. Bait-bait tersebut tetap dibiarkan dalam bahasa Jawa sehingga pembaca (yang tidak mengerti bahasa Jawa) kehilangan informasi yang mungkin penting. Padahal, dari sinilah awal mula tergodanya Jarot untuk membongkar akar perkawinan hanacaraka (Jawa) dengan hijaiyah (Islam) yang diyakininya banyak memiliki kesesuaian (dalam ajaran-ajarannya).

Akhirnya bagi saya, Hubbu bukan merupakan buku yang saat menamatkannya saya merasa sedih karena harus berpisah (dengan buku tersebut) seraya berkomentar: “Yah, kok sudah selesai sih? Padahal lagi seru-serunya nih.”

Endah Sulwesi 17/9

Tidak ada komentar: