Minggu, 03 Februari 2008

POTRET SURAM PEREMPUAN AFGANISTAN


Judul buku: A Thousand Spendid Suns
Penulis: Khaled Hosseini
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penyunting: Andhy Romdani
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2007
Tebal: 510 hlm

Setelah meraih sukses besar dengan novel perdananya, The Kite Runner (2003), Khaled Hosseini menerbitkan karya keduanya, A Thousand Splendid Suns (ATSS). Penerbit Qanita cukup cepat juga mengeluarkan edisi Indonesianya. Hanya berselang 5 bulan saja dari edisi aslinya yang beredar pada Mei 2007. Asyik juga andai semua buku impor bisa terbit edisi terjemahannya secepat itu, tak perlu menunggu bertahun-tahun.

Masih berlatar negeri Afganistan, kali ini Hosseini mengajak pembaca melihat-lihat “album” yang memuat “potret” suram kaum hawa di Afganistan. Sejak masa pendudukan Soviet, rezim Komunis, Mujahidin, hingga masa kekuasaan Taliban. Sepanjang zaman tersebut, kaum perempuan di sana senantiasa menjadi pihak yang paling menderita dan terzalimi oleh negara, tradisi, budaya, agama, dan masyarakat yang didominasi kaum pria.

Afganistan merupakan salah satu negeri termiskin di dunia. Adalah peperangan dan konflik politik yang berkepanjangan dan terus-menerus yang menyebabkan ekonomi negara ini tak sempat tumbuh dan berkembang. Entah sudah berapa juta jiwa melayang dalam perang-perang tersebut. Ibu-ibu harus rela melepas putra dan suami mereka bertempur di garis depan menghadapi tentara musuh atau yang dianggap musuh. Sejak pendudukan Uni Soviet hingga perang-perang saudara (antarsuku dan antargolongan) yang seolah tak pernah usai.

Pemerintahan yang kerap bergonta-ganti tak sempat mengurusi masalah lain di luar politik, seperti pendidikan dan kesehatan. Banyak penduduk mengalami krisis pangan akibat sektor pertanian dan peternakan diabaikan. Kondisi tersebut lebih diperparah lagi jika terjadi kemarau panjang.

Perang juga mengakibatkan banyak rumah sakit dan gedung sekolah rusak parah. Pendidikan telah lama tidak mendapat perhatian. Lebih-lebih bagi anak perempuan. Pada masa Taliban berkuasa, perempuan bahkan sama sekali tak boleh sekolah. “Tidak ada ilmu yang bisa kau pelajari di sekolah. Yang ada hanya satu, hanya ada satu keahlian yang harus dikuasai perempuan seperti kita dalam kehidupan ini, dan itu tidak diajarkan di sekolah…..Hanya ada satu keahlian. Tahamul. Bertahan” (hlm 33).

Di daerah konflik seperti Afganistan ini, selalu perempuanlah yang paling sengsara. Setiap saat para istri terancam menjadi janda oleh kematian suami mereka. Perang juga seolah-olah memberi legitimasi kepada para pria untuk berpoligami dengan alasan memberi perlindungan kepada para wanita tersebut, baik yang janda atau pun anak-anak gadis yang tiba-tiba menjadi yatim piatu. Seperti Laila dan Mariam.

Tingkat pendidikan yang rendah semakin melemahkan posisi tawar perempuan. Mereka menjadi amat tergantung kepada kekuasaan kaum lelaki. Di masa pendudukan Taliban, perempuan tak boleh bekerja dan tak boleh ke luar rumah kecuali dengan seorang lelaki yang menjadi muhrimnya. Mereka harus menutup rapat aurat dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan burqa. Jika berani melanggar, hukum cambuk dan penjara menanti. Ah..saya jadi ingat film keren Osama dan Kandahar.

Akibat dokter-dokter perempuan tidak boleh lagi bekerja, rumah sakit dan klinik-klinik kekurangan tenaga medis. Pasien melahirkan ditangani seadanya. Jika mesti operasi, akan dilakukan tanpa anestesi, karena tak tersedia lagi obat bius. Tak heran jika angka kematian ibu melahirkan juga tinggi. Belum lagi mereka yang tinggal di tenda-tenda pengungsian. Tanpa selimut dan air bersih.

Itulah antara lain yang berhasil direkam Hosseini dalam novel keduanya ini. Lewat tokoh Mariam dan Laila, ia mengungkapkan rangkaian tragedi kemanusiaan di Afganistan.

Keterbatasan Mariam dan Laila sebagai perempuan Afganistan membuat mereka tak punya banyak pilihan. Mariam yang terlahir sebagai harami, anak haram, harus menjalani nasib buruk disingkirkan oleh ayah kandungnya dengan jalan dikawinkan saat ia berusia 14 tahun dengan seorang pembuat sepatu berumur 45 tahun.

Demikian pula halnya Laila. Pada umur 14 tahun ia tiba-tiba menjadi yatim piatu. Mammy dan Babi-nya tewas oleh roket yang jatuh menimpa rumah mereka. Waktu itu tahun 1992. Jauh sebelumnya, kedua abangnya juga telah lebih dulu mati sebagai martir di pertempuran melawan tentara Uni Soviet.

Merasa tak memiliki siapa pun lagi–kekasihnya pun dikabarkan telah meninggal dalam pengungsian–Laila tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima tawaran kawin seorang pria tua beristri dan tinggal seatap dengan istri tuanya itu. Bertahun-tahun ia harus menerima perlakuan kasar, siksaan, dan aniaya sang suami. Dia nyaris kehilangan martabat dan harga dirinya sebagai manusia.

Jika hendak membandingkan, novel ATSS ini tidaklah seemosional The Kite Runner (TKR) yang mengharu-biru perasaan. ATSS jadi lebih mirip film India atau telenovela yang tokohnya didera nestapa hampir di sekujur kisah. Bukannya tidak menarik, akan tetapi barangkali akan lebih memikat lagi jika Hosseini tidak memforsirnya sampai sedemikian rupa, walau pun mungkin yang ditulisnya adalah fakta yang terjadi di lapangan.

Hosseini cukup berhasil dalam menciptakan karakter Rasheed sebagai sosok antagonis. Rasheed rasanya benar-benar hidup dan jahat. Sampai saya ingin membunuhnya. Ia pun piawai dalam menuturkan suasana yang mengiringi setiap kejadian sehingga kita bisa masuk ke dalam kisahnya

Sebagai seorang yang lahir dan pernah tinggal cukup lama di Afganistan (1965-1976) serta kemudian bekerja sebagai duta UNHCR, Hosseini tentulah paham betul dengan semua yang ditulisnya. Agaknya, melalui buku ini ia ingin menyampaikan pesan moral, bahwa tak ada manfaat yang bisa diambil dari sebuah peperangan. Perang hanya menyisakan kehancuran bagi umat manusia. ***

Tiga bintang deh.

Endah Sulwesi 4/2

Tidak ada komentar: