Kamis, 24 Januari 2008

IRONI SEBUAH BANGSA YANG DISINGKIRKAN


Judul buku: Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga
Judul asli: The Lone Ranger and Tonto Fist Fight in Heaven
Penulis: Sherman Alexie
Penerjemah: Noor Cholis dan Yusi A.Pareanom
Penyunting: Yusi A.Pareanom
Penerbit: Banana
Cetakan: I, 2007
Tebal: 247 hlm.

Nama Sherman Alexie mungkin belum begitu dikenal di sini. Tetapi di Amerika sana ia termasuk salah satu penulis fiksi yang diperhitungkan. Tahun lalu ia memperoleh penghargaan National Book Award Prize for Young People’s Literature untuk karyanya yang berjudul The Absolutely True Diary of Part Time Indian. Tiga tahun sebelumnya, salah satu cerpennya masuk dalam The Best American Short Stories. Selain cerpen, ia juga menulis puisi, novel, dan skenario film.

Sherman Alexie adalah keturunan Indian. Lahir di Spokane, Washington, pada 7 Oktober 1966 dengan membawa kelainan di kepalanya (hydrocephalic). Ia tumbuh dan dibesarkan di reservasi Indian Spokane di Wellpinit, Washington. Tak mengherankan jika karya-karyanya, khususnya dalam kumpulan cerpen Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga ini, berkisah tentang seluk-beluk, suka-duka, kehidupan masyarakat Indian di reservasi. Sebuah cerpen di buku ini, “This is What It Means to Say Phoenix, Arizona” (diterjemahkan menjadi “Inilah Artinya Menyebut Phoneix, Arizona”) menjadi dasar penulisan naskah film Smoke Signals (1998).

Kedua puluh dua cerpen di buku ini, konon ditulis Alexi berdasarkan kejadian nyata yang dialaminya selama tinggal di reservasi. Dengan menggunakan beberapa karakter yang sama, Victor dan Thomas Builds the-Fire si pendongeng, cerpen-cerpennya mengungkapkan dengan jujur ironi sebuah bangsa yang tersingkirkan (Indian) di tanah mereka sendiri. Alexie menyampaikan kisah-kisahnya secara elegan, tanpa berkeluh-kesah memohon iba, tetapi dengan humor-humor gelap yang mau tak mau memaksa kita tersenyum membacanya, meski sembari menelan rasa pahit.

Saya masih ingat, waktu kecil sering menonton film-film koboy di tivi. Dalam film-film produk Hollywood itu, para Indian selalu digambarkan sebagai penjahat, bangsa barbar yang suka membunuh dan lalu menguliti kepala korbannya. Mereka ditampilkan dengan karakter stereotipe sebagai orang-orang primitif, tak beradab, dan bodoh sehingga pantas dibantai dan dihabisi.

Sebagai seorang anak kecil yang polos dan belum mengerti banyak hal, saya berhasil dikelabui oleh para sineas kulit putih Amrik itu. Saya ikut-ikutan membenci Indian yang waktu itu sering secara salah kaprah saya dan bocah lainnya menyebutnya “orang Dayak”.

Keduapuluh dua cerpen di buku ini nyaris seluruhnya memperlihatkan optimisme Victor dan kawan-kawan dalam memandang dan menjalani hidup sebagai ‘orang buangan’ di reservasi. Ada tiga hal, di luar lelucon dan mimpi-mimpi, yang senantiasa hadir sebagai hiburan keseharian orang-orang yang tinggal di tipi-tipi itu: basket, bir, dan tarian. Ketiga hal tersebut paling tidak membuat mereka sejenak melupakan perut yang perih karena lapar serta rasa tengik keju murahan.

Alexie menuturkannya dalam bahasa yang liris serta kalimat-kalimat panjang yang kadang-kadang membikin saya terengah-engah sebelum sampai pada keindahannya. Tak semua cerpennya gampang dipahami dengan hanya sekali baca. Beberapa cerpen saya harus membacanya ulang untuk mendapatkan pemahaman yang baik. Dan favorit saya adalah “Perkiraan Ukuran Tumor Favoritku”, “Adik Tiri Yesus Kristus Masih Hidup dan Segar Bugar di Reservasi Indian Spokane”, dan “Saksi, Rahasia, dan Tidak”. Alexie rupanya senang dengan judul yang panjang-panjang. Ia juga kerap menggunakan gaya bahasa hiperbolis.

Jangan membayangkan cerita di buku ini seperti dongeng Winnetou karya Karl May. Anda tidak akan menemukan Indian yang berkelahi dengan beruang raksasa atau bison. Juga tidak ada perang antarsuku yang diakhiri dengan ritual mengisap pipa perdamaian. Yang akan anda temukan adalah orang-orang Indian modern–meskipun tetap setia dengan kepang rambut mereka–yang bersekolah, mabuk bir setiap malam, dan tergila-gila basket.

Perkara basket, ada fenomena menarik di sana. Di reservasi, seorang jagoan basket adalah pahlawan. “Kami duduk dalam senyap dan mengingat semua pahlawan kami, pemain basket dari tujuh generasi, semuanya hingga yang paling awal. Sungguh menyakitkan kehilangan salah seorang dari mereka sebab orang Indian boleh dibilang menganggap pemain basket sebagai juru selamat. Maksudku, kalau bola basket sudah ada, aku yakin Yesus Kristus pasti menjadi point guard terbaik di Nazareth. Barangkali pemain terbaik di seluruh dunia. Juga di dunia sana.” (hlm 66).

Barangkali kini Indian tak memerlukan lagi para pahlawan yang menang dalam perang melawan tentara kulit putih atau menjinakkan kuda liar. Mereka hanya butuh satu tim basket handal yang mampu mengalahkan tim basket kulit putih dalam sebuah pertandingan yang bermartabat.***

Tiga bintang dari saya untuk buku yang mendapat PEN/Hemingway Award (1993) ini.
endah sulwesi 25/1

Tidak ada komentar: