Senin, 21 Januari 2008

The Edge Chronicles # 1 : Beyond The Deepwoods


Judul : The Edge Chronicles # 1 : Beyond The Deepwoods
Penulis : Paul Stewart
Ilustrator : Chris Riddel
Penerjemah : Meithya Rose Prasetya
Penerbit :Matahati
Cetakan : 2007
Tebal : 347 hlm

The Edge Chronicles ini sejatinya merupakan sebuah serial yang terdiri dari sembilan biji buku. Kesembilan buku dipecah-pecah lagi menjadi 3 yang masing-masing menceritakan tiga karakter utamanya, yaitu : Quintinius Verginix (The Quint Saga) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cloud Wolf, Twig, dan Rook Barkwater. Yang pertama adalah ayah Twig, sedangkan yang terakhir kakeknya.

Di Indonesia yang diterbitkan pertama kali adalah bagian yang berkisah tentang Twig (TheTwig Saga). Ada tiga buku seluruhnya, yakni Beyond The Deepwoods, Stormchaser, dan Midnight Over Sanctaphrax. Tetapi sebenarnya ada satu lagi buku terakhir pada bagian ini, yaitu The Stone Pilot yang diterbitkan khusus pada Hari Buku Sedunia (World Book Day) 2006. Jadi, seluruh serial karya Paul Stewart ini genap sepuluh buku.

Pada buku pertama ini dikisahkan Twig yang mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya. Dia begitu tampak berbeda dengan para penghuni The Deepwoods pada umumnya, bahkan dengan Tumun dan Spelda, sepasang woodtroll yang selama ini mengasuhnya. Dari Spelda, akhirnya Twig mengetahui bahwa ia sebenarnya bukan anak kandung Spelda dan Tumun. Mereka menemukannya di depan pintu pondok tiga belas tahun silam.

Atas restu kedua orang tua angkatnya itu, Twig lantas berangkat mengembara guna mencari keterangan lebih lanjut seputar dirinya; di samping juga untuk menyelamatkan diri dari para perompak langit yang berniat menculiknya. Dalam perjalanannya melintas The Deepwoods itu Twig banyak menemukan petualangan menarik sekaligus menegangkan. Ia berjumpa bermacam makhluk ajaib yang selama ini hanya sempat ia dengar namanya saja. Sebut saja, misalnya gloamglozer, halitoad, hammelhorn, cacing terbang, caterbird, skullpelt, bloodoak, gyle, goblin, spindlebug, banderbear, wig-wig, gabtroll, dan masih banyak lagi monster lain yang harus dihadapi Twig dalam setiap bab petualangannya yang seru itu.

Bagi anak-anak, jelas ini sebuah kisah petualangan yang memikat; penuh dengan makhluk-makhluk aneh yang benar-benar memanjakan alam fantasi mereka. Bertambah menarik lagi dengan gambar ilustrasi hitam putih karya Chris Riddell, sahabat baik Peter Stewart. Mereka telah berkolaborasi dengan baik dalam kisah khayali ini. Chris Riddell adalah juga seorang kartunis di The Observer.

Meski kisahnya terjadi di tengah hutan rimba yang seram, namun bukan berarti tanpa makanan lezat. Bagian makanan selalu menjadi bagian favorit saya. Misalnya saja ini: sup sosis tilder terasa lezat baunya. Dibiarkan mendidih hingga lembut dalam kaldu yang dibumbui nibblick dan orangegrass, sup ini kaya rasa dan pedas. Lalu, daging hammelhorn yang empuk, digulung dalam tepung bumbu knootroot dan digoreng dalam minyak tilder, ditemani earthapple dan selada biru yang tajam rasanya. Dan ini kemudian diikuti oleh kue trifle madu dan gelatin dellberry serta biskuit wafer kecil yang disiram sirup gula (hlm.69).

Benar-benar deksripsi kuliner yang menggiurkan. Membayangkan daging hammelhorn goring yang empuk dan lain-lain membuat saya menelan liur *glek* dan tiba-tiba perut saya jadi lapar. Dalam buku cerita (anak-anak) lokal, jarang sekali kita temui bagian seperti ini. Padahal ini peluang bagi para penulis kita untuk memperkenalkan jenis-jenis makanan asli bangsa sendiri kepada anak-anak. Satu yang saya ingat suka menuliskan makanan pada karya-karyanya adalah Umar Kayam (alm). Kalau karya luar, tentu yang paling saya ingat adalah serial Lima Sekawan (Enid Blyton). Dalam setiap petualangan keempat anak dan seekor anjing itu selalu ada roti isi daging asap dan limun jahe yang segar.

Kalau di kita apa ya? Risoles isi yoghurt? Kroket kentang isi daging sapi? Atau sosis solo yang gurih itu? Hmmm….Eh. kok malah ngomongin makanan? Yah, yang jelas buku petualangan si Twig ini lumayan keren. Saya sih berharap Matahati akan menerbitkan judul-judul berikutnya. Kalau perlu kesepuluh-sepuluhnya. Iya nggak sih? ***

Berapa bintang ya? Dua deh.

Tidak ada komentar: