Senin, 01 September 2008

Harry dan Geng Keriput


Judul buku: Harry and The Wrinklies
Judul asli: Harry dan Geng Keriput
Penulis: Alan Temperley
Penerjemah: Hidayat Saleh
Editor: Poppy Damayanti Chusfani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Mei 2008
Tebal: 336 hlm.

Harry yang ini bukan Harry Potter tapi Harry Barton, meskipun mereka sama-sama bocah lelaki yatim piatu pada usia yang masih sangat muda. Mereka sama-sama orang Inggris. Mereka kemudian juga sama-sama dititipkan di rumah bibi mereka. Bedanya, Harry Barton bukanlah penyihir seperti halnya Harry Potter.

Harry Barton mungkin sedikit lebih beruntung dari Harry Potter karena memiliki dua orang bibi yang sangat mengasihinya. Kendati kedua orang bibinya, Bridget dan Florrie, itu lebih pantas disebut nenek-nenek, namun mereka orang-orang tua yang “gaul”. Bersama para bibinya, Harry justru merasa lebih gembira ketimbang sebelumnya sewaktu masih tinggal sendiri di rumah orang tuanya yang besar, hanya ditemani oleh seorang pengasuh jahat bernama Gestapo Lil. Kelak, si nanny yang seharusnya menjaganya ini, malah menjadi musuh besar Harry dan gengnya.

Iya, di rumah bibinya, Lagg Hall, Harry mendapat teman-teman yang menyenangkan. Sebenarnya sih teman-teman kedua bibinya, tetapi kemudian akhirnya menjadi teman-temannya juga. Mereka rata-rata seusia dengan Bibi Bridget dan Bibi Florrie. Sudah pada tua dan keriput. Itulah sebabnya mengapa kemudian mereka menyebut gerombolan itu sebagai Geng Keriput.

Geng Keriput memiliki riwayat yang unik. Mereka di masa lalu adalah orang-orang “nyentrik” yang karena ulah kriminal mereka pernah menghuni sel-sel penjara. Termasuk kedua bibi Harry itu. Aksi “kejahatan” mereka sebenarnya lebih cocok disebut sebagai aksi Robinhood, sebab mereka melakukan pencurian, membobol bank, dan memalsu karya seni, semata-mata bertujuan untuk membantu orang-orang miskin; menyantuni yayasan yatim piatu atau disumbangkan kepada panti-panti sosial lainnya. Dalam aksi mereka, mereka hanya mencuri dan merampok para orang kaya yang kikir yang mendapatkan hartanya dari cara-cara tidak benar.

Geng Keriput ini sudah lama diawasi gerak-geriknya oleh seorang hakim culas, Kolonel Priestly. Dialah yang pernah menjebloskan sebagian anggota Geng Keriput ke penjara dalam sebuah persidangan yang tidak adil. Diam-diam Geng Keriput merencanakan balas dendam. Tentu dengan melibatkan Harry di dalamnya.

Kisah petualangan yang cukup seru dengan jagoan seorang bocah lelaki yang semula diremehkan dan tidak bahagia (hampir selalu begitu, ya?). Bocah malang ini akhirnya justru menjadi pahlawan di pengujung cerita. Harry dan Geng Keriput berhasil menggulung lawan mereka, Kolonel Priestly yang berkolaborasi dengan Gestapo Lil (spoiler yak? :D)

Sebagai sebuah kisah petualangan, Harry dan Geng Keriput cukup menghibur, meski tak luput juga dari kekurangcermatan. Saya menemukan di bab 25. Pada halaman 253 tertulis sebagai berikut: Suatu larut malam tanggal tiga belas Desember, Harry pergi ke tempat pengintaian bersama Bibi Florrie.

Sepenggal narasi di atas itu terasa ganjil jika kita hubungkan dengan bab sebelumnya (bab 24 yang berjudul “Natal di Lagg Hall). Aneh kan jadinya karena pada bab 24 itu diceritakan suasana perayaan natal yang berarti tanggal 25 Desember; sedangkan di bab 25 balik lagi ke tanggal 13 Desember padahal peristiwanya setelah Natal berlalu. Yah, saya jadi “gatal” aja menemukan kekurangcermatan ini. Selebihnya sih saya rasa oke walaupun juga tidak istimewa.

Penulis terkesan menggampangkan dalam mencari sebab Harry menjadi yatim piatu. Juga sulit diterima ihwal kebangkrutan total orang tuanya yang membuat Harry dari seorang anak miliuner dalam sekejap mata menjelma nyaris gelandangan dengan hanya memiliki satu stel pakaian usang yang ukurannya pun sudah kekecilan. Rasanya terlalu berlebihan. Atau mungkin karena saya melihatnya dari kaca mata orang dewasa yang segalanya harus masuk akal dan tidak menerima begitu saja setiap kemungkinan? Bisa jadi sih. Harusnya saya mengeset dulu pikiran saya menjadi kanak-kanak selama membaca buku ini, ya sehingga saya tidak mengeluhkan hal-hal yang terasa kurang pas.

Misalnya lagi soal Kolonel Priestly yang disebut sebagai warga terhormat, harta berlimpah, punya kekuasaan, dan dikenal suka beramal itu, jadi terasa tidak pas ketika diceritakan sibuk menangani dengan tangannya sendiri musuh-musuhnya. Padahal rasanya akan lebih sreg kalau dikisahkan ia memakai tukang pukul atau pembunuh bayaran. Jadinya, buku ini lebih mirip film komedi dengan para penjahatnya kalah secara memalukan dan menjadi bulan-bulanan. Saya membayangkan, kalau difilmkan pasti akan banyak adegan slapstick-nya. Hehehe.

Tetapi baiklah, akhirnya saya harus katakana buku ini asyik kok selama kita tidak terlalu mikir membacanya.

Tidak ada komentar: