Senin, 21 Juli 2008

Bilangan Fu


Judul buku: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: KPG
Cetakan: I, 2008
Tebal:

Setelah Saman terbit (1998) dengan segala kehebohannya, citra penulis vulgar seolah-olah melekat pada diri pengarangnya, Ayu Utami (40). Citra ini bahkan tersiar sampai ke luar Indonesia. Fakta ini baru saya ketahui kira-kira dua minggu silam dari percakapan saya dengan 6 orang teman dari Malaysia yang mengaku sebagai “ulat buku”, sebutan di negeri jiran itu untuk kutu buku. Saat mereka berkunjung ke Jakarta pada acara Pesta Buku Jakarta 2008 yang lalu, mereka emoh menuruti saran saya untuk juga membeli (dan membaca) novel-novel Ayu Utami selain tetraloginya Pram lantaran kabar yang mereka dengar buku-buku Ayu itu porno.

Citra porno yang telanjur menempel pada perempuan lajang bertubuh ramping ini juga sempat membuat teman-teman saya yang hendak membeli (dan membaca) buku ini mempertanyakan : masih sejenis nggak ya buku ini dengan Saman?

Setamat saya membaca novel setebal 500-an halaman ini, saya baru bisa mengatakan, bahwa buku ini berbeda dengan karya Ayu terdahulu, Saman dan Larung.

Bilangan Fu barangkali akan menjadi sebuah cerita yang “berat” seandainya Ayu tidak menuliskannya dengan bahasa yang gurih, sebab ia, novel ini, memuat gagasan dan kritik Ayu pada tiga hal yang dianggapnya sebagai ancaman kebebasan dan demokrasi, yakni 3 M: modernisme, monoteisme, dan militerisme. Tema yang serius, bukan? Namun, secara cerdik Ayu menyiasatinya melalui jalinan kisah dua pemuda pendaki tebing yang tampan dan cerdas: Yuda dan Parang Jati.

Kedua lelaki muda yang sehat itu menjadi simbol dan sekaligus para pahlawan di novel ini yang memerangi segala bentuk penzaliman dan penganiayaan kepada alam dan manusia. Yuda dan Parang Jati tidak berdiri berseberangan sebagai dua orang seteru, tetapi justru saling bahu-membahu menjadi protagonis melawani musuh bersama: 3 M itu.

M yang pertama, modernisme, menurut Ayu menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan akibat eksploitasi manusia modern yang kelewat batas dan lupa menghormati alam. Manusia modern tak percaya lagi pada segala bentuk keramat dan cerita-cerita takhayul ihwal roh-roh halus penunggu pohon besar, sungai, gunung, dan samudera. Padahal kepercayaan pada takhayul dan keberadaan roh-roh halus yang dahulu “diimani” oleh masyarakat adat telah mampu menyelamatkan alam dari kebinasaan. Kerena percaya bahwa setiap benda dan tempat ada yang punya, mereka tak berani berlaku sewenang-wenang. Tetapi kini seiring dengan semakin lunturnya kepercayaan tersebut, semakin parahlah perusakan yang terjadi.

Kritik dan kampanye anti-perusakan lingkungan ini disampaikan Ayu dengan memilih dunia panjat tebing sebagai latar kisahnya. Yuda dan Parang Jati mengenalkan agama baru mereka : pemanjatan bersih atau yang lebih ekstrem lagi sacred climbing, yaitu teknik memanjat dengan sesedikit mungkin atau sama sekali tidak melukai tebing-tebing dengan alat-alat panjat modern seperti bor dan paku.

M yang kedua adalah monoteisme. Ayu meyakini, bahwa agama-agama langit yang monoteis memiliki persoalan mendasar dalam menerima perbedaan. Ayu menggambarkannya melalui permusuhan antara Kupukupu dan Parang Jati. Kupukupu adalah lambang mereka yang merasa diri paling benar dengan agama yang mereka peluk dan lalu merasa berhak mengadili serta mengkafirkan orang lain yang menganut kepercayaan yang berbeda dengannya. Mereka tak menyisakan ruang bagi perbedaan. Fundamentalis, begitulah tepatnya. Pada bagian inilah Ayu memperkenalkan filosofi bilangan fu yang lebih bermakna metaforis ketimbang matematis. Ini menyangkut pengertian akan Tuhan yang satu yang sering diartikan secara matematis.

Dan M yang ketiga adalah militerisme. Pendapat Ayu bahwa militerisme merupakan musuh utama demokrasi berangkat dari masa Orde Baru, di mana peran militer sangat dominan. Dengan kekuatan dan caranya sendiri, militer menebar teror, ketakutan, dan kekerasan di masyarakat demi mempertahankan kekuasaan. Kebebasan pers dibungkam, acara-acara seni dan sastra dimata-matai, diskusi dan kumpul-kumpul dianggap makar, sebversi. Kita yang sempat mengecap hidup di masa gelap tersebut tentu tahu betul rasanya.

Novel dengan beban gagasan seberat itu tentu akan terasa membosankan jika tak pandai-pandai mengemas dan menyajikannya. Bilangan Fu nyaris terjerumus menjadi novel demikian seandainya Ayu hanya fokus pada ide besarnya itu dan melupakan unsur-unsur “hiburan” dalam bukunya ini. Unsur-unsur hiburan itu di antaranya bumbu seks, asmara, dialog-dialog yang bernas, plot yang tidak linear, dan humor. Kendati saya sempat terserang jenuh juga oleh banyaknya kutipan kliping surat kabar dan majalah, “artikel” serius Parang jati, serta dialog panjang lebar Yuda dan Parang Jati yang sangat ilmiah, namun secara keseluruhan novel ini enak dibaca.

Lantas, bagaimana dengan cinta segitiga seperti yang diiklankan dalam sinopsis di sampul belakang buku ini? Ah, rasanya saya tidak menemukan adanya asmara tiga sisi di novel ini. Ayu tidak pernah secara terang-terangan menampilkan percintaan segitiga antara Yuda, Marja, dan Parang Jati. Marja itu pacar Yuda yang dengan tersirat dan samar-samar–melalui dugaan-dugaan Yuda–diceritakan juga menaruh hasrat kepada Parang Jati. Jadi, jika Anda berharap akan bertemu kisah cinta segitiga yang menggelora dalam novel ini, siap-siaplah kecewa.***

Tidak ada komentar: